Serpihan Kenangan Dari Indahnya Gili Labak
Mencumbui alam Indonesia merupakan salah satu cara terbaik bagi saya untuk
mencintai negeri ini. Dari ketinggian hingga kedalaman, negeri kita selalu menarik untuk dituangkan dalam barisan kalimat dan
gambar
Jika saya mengawali hari kedua di
tahun 2016 dengan mendaki gunung yang begitu terkenal dengan sebutan “Golden
Sunrise”, maka tak adil rasanya apabila tak menyelami keindahan bawah laut.
Destinasi yang saya pilih yakni Pulau Gili Labak yang terletak di Sumenep,
Madura, Jawa Timur.
Pulau di tenggara Madura ini memang
begitu menarik perhatian banyak orang hingga akhirnya saya pun menjatuhkan
pilihan untuk menghirup udara segar beralaskan pasir putih di sana. Dengan menaiki
bus ekonomi jurusan Semarang – Surabaya, saya bersama seorang teman bernama Lena
berkelana ke Pulau Gili Labak. Pukul 14.00, matahari begitu terik dan riuhnya
penumpang serta pedagang hingga pengamen dalam bus ikut mewarnai perjalanan ini.
Mungkin banyak orang yang akan berkomentar “Kenapa
sih nggak pake bus patas AC yang adem dan nggak rame? Bahaya lho cewek naik bus
ekonomi, kalau kecopetan gimana?”. Tapi, saya justru mengajak Lena bersusah
payah dan menepis anggapan itu demi melihat kepingan surga di Pulau Gili Labak
dengan cara yang tak mewah, sederhana saja. Sesederhana mimpi saya untuk mengelilingi
tiap jengkal bumi Indonesia yang menawan.
Kota demi kota terlewati dalam waktu
delapan jam perjalanan yang orang anggap itu hal gila. Belum apa-apa, bahkan
permulaan karena perjalanan baru sebatas Kota Pahlawan. Pukul 22.00, disaat
kebanyakan orang mulai terlelap kami justru asyik merangkai cerita di ruang
tunggu Terminal Bungurasih sembari menunggu pergantian hari.
Saat jarum jam mulai berganti hari,
perjalanan ini berlanjut dengan sebuah bus ekonomi jurusan Surabaya – Sumenep. Tak
bisa dibohongi, ada semburat lelah di mata kami yang memaksa untuk terpejam
tanpa mengacuhkan keamanan barang bawaan. Melintasi gelap dan dinginnya malam
di Pulau Madura selama hampir lima jam. Adzan subuh berkumandang pun
membangunkan kami dari lelapnya tidur. Akhirnya tiba di gerbang Pelabuhan Kalianget
disambut sapaan penduduk sekitar yang begitu hangat.
Sembari duduk menikmati sarapan, kami
juga menanti kapal yang akan membawa ke Pulau Gili Labak. Tak hanya itu,
rupanya denyut kehidupan masyarakat tak jauh dari pelabuhan. Hal itu terlihat
dari kapal-kapal yang mengangkut barang serta sebagai transportasi utama
penduduk di pulau seberang.
Dari matahari terbit hingga pukul delapan,
kami menunggu tur lokal yang sudah dipesan untuk mengantar kesana. Ombak pagi hari begitu
tenang dan bersahabat membuat kami kegirangan untuk mengabadikan segala momen.
Waktu dua jam di tengah lautan pun tak terasa lama karena kru kapal sekaligus guide kami begitu ramah.
Alunan ombak yang begitu tenang
serta hembusan udara sejuk menyambut kami di pulau berpasir putih ini. Biru
laut nan jernih sangat menggoda kami untuk mengintip terumbu karang dan ikan
yang bernaung di bawah air. Teriknya mentari sudah tak diabaikan karena ini
bagian dari euforia kami. Menyusuri pasir pantai jengkal demi jengkal pun
menjadi aktivitas yang tak akan pernah membosankan.
Namun, waktu menyiksa kami untuk
segera meninggalkan Pulau Gili Labak yang indah ini. Langit yang awalnya begitu
membiru kini berubah menakutkan dengan awan hitam pekat beserta angin yang tak
lagi lembut. Ombak pun mengombang-ambingkan kapal kecil yang kami tumpangi.
Meski begitu, ganasnya lautan dapat ditempuh.
Kami kembali ke Pelabuhan
Kalianget dan meneruskan perjalanan pulang ke Semarang. Seperti awal, kami
harus menempuh perjalanan hingga lebih dari sepuluh jam. Walaupun perjalanan
kami begitu panjang dan tak semuanya memberikan keindahan, tapi bagi kami
itulah bagian paling vital karena perjalanan itu menyajikan kenangan dan cerita yang tak
pernah terbeli.