Merajut Cerita di Atas Awan
“Bukan
seberapa banyak puncak dan seberapa tinggi gunung yang telah didaki. Tetapi,
perjuangan menuju kesana adalah skenario indah yang sayang untuk dilewatkan dan
tak terlupakan dalam hidup”
Gunung Sindoro nampak gagah dari Gunung Sumbing |
Jam menunjukkan pukul 6 pagi, hampir
saja saya mengabaikan janji untuk datang menjemput seorang teman di sebuah
terminal. Terlihat di layar handphone
ada puluhan pesan singkat maupun panggilan masuk darinya. Lebih tepatnya saya
telat bangun, padahal hari ini harus menempuh perjalanan jauh. Tak butuh waktu
lama, saya pun bergegas mengambil handuk dan berlari ke kamar mandi. Tidak
lebih dari 15 menit saya menghabiskan waktu untuk mandi, cukup singkat bukan? Carrier beserta isinya, sepatu, dan
pakaian yang akan digunakan sudah tertata rapi, semalaman saya mempersiapkannya
dengan baik sampai-sampai terlambat tidur dan kesiangan. Sepeda motor yang
terparkir di garasi pun segera saya ajak untuk berkendara dengan kecepatan
tinggi dan menemui teman di terminal. Empat puluh lima menit saya berpacu
dengan waktu dan menerabas jalanan kota Semarang.
“Saya di depan terminal ya, Mel?”, ucap
saya di pesan singkat.
Tiba-tiba seorang gadis mungil
menepuk punggung saya. Amel, gadis yang masih duduk di bangku sekolah menengah
atas ini baru saya kenal beberapa hari sebelum hari keberangkatan. Dia gadis
yang cukup pendiam dan tak banyak bicara.
“Kak, mau langsung berangkat
sekarang?”, ucap Amel.
“Iya, ayuk cabut, udah keburu siang
neh. Kasian Bang Ardi sama temennya nungguin di basecamp”, jawab saya.
Akhirnya, saya pun kembali membawa
motor kesayangan bersama Amel untuk meluncur ke basecamp Garung di Kledung, Temanggung. Saya memacu sepeda motor
dengan kencangnya, melewati beberapa kota yang dibalut dengan udara segar dan pemandangan
alam yang menghijau. Sudah puluhan kilo meter jarak yang saya lalui di tengah
teriknya matahari yang kian meninggi. Di antara semangat yang menggebu inilah
saya dan Amel rela berpeluh keringat selama lebih dari dua jam untuk menuju
sebuah gerbang. Gerbang yang merupakan awal cerita dari skenario perjalanan
indah kami.
Perjalanan
melambat ketika melihat sebuah tulisan bahwa kami sudah hampir sampai di basecamp pendakian Gunung Sumbing. Saya
mengendarai motor pelan-pelan dan di bibir jalan berdiri sesosok laki-laki yang
sejak semalam menunggu kedatangan kami. Terlihat seulas senyum khas Bang Ardi
menyambut saya dan Amel. Sesampainya kami, Bang Ardi membantu membawakan carrier dan mengurus simaksi. Tak hanya
itu, Bang Ardi pun memperkenalkan temannya kepada kami.
“Hai, saya Herry”, ucapnya sambil
tersenyum.
Usai
perkenalan singkat itu, kami berempat pun mempersiapkan diri dan packing ulang untuk segera memulai
pendakian. Setelah persiapan yang dilakukan selesai, kami mulai berjalan kaki
dari basecamp menuju Pos 1. Langit biru
dan hijaunya pepohonan di ladang warga sekitar menghiasi perjalanan ini.
Canda tawa terkadang terlempar
begitu saja di tengah perjalanan menuju Pos 1, seolah kami sudah saling
mengenal begitu lama. Setelah berjalan ratusan meter tak jarang kami melepas
lelah sejenak, sekedar menegak air segar di sela-sela tenggorokan. Kami begitu
menikmati setiap langkah perjalanan ini dengan ribuan harap untuk bisa
menggapai puncak. Untuk waktu yang telah terlewati selama dua jam lebih ini,
Tuhan membayar satu harapan kami dengan bertemu dengan Pos 1 yang notabene
masih terlampau jauh perjalanan untuk menuju pos selanjutnya maupun ujung dari
pendakian ini. Bekal peta pendakian yang diberikan oleh petugas simaksi adalah
salah satu dari sekian semangat yang ada.
“Bang, berapa jam lagi ke pos 2?
Masih lama?”, tanya saya kepada Bang Ardi.
“Iya neh, Bang. Berapa lama lagi
sih?”, sahut Herry.
“Dua jam lagi juga udah sampe pos 2
koq, yuk semangat jalannya”, ucap Bang Ardi menyemangati kami.
“Ayo semangat, Kakak”, ucap Amel.
Kaki kembali melangkah, tak ada lagi
ladang warga desa yang menghiasi perjalanan. Tetapi, kami harus membelah hutan
dengan pepohonan yang rimbun dan jalan yang kian menanjak. Meski terik matahari
semakin menjadi, kami masih semangat untuk terus melangkah. Medan yang dilalui
mulai menampakkan sebuah pilihan pada kami untuk terus melangkah atau berbalik
arah. Saya pun mulai egois dengan diri sendiri, tetap pada pilihan untuk terus
melangkah apapun yang akan dihadapi. Bukahkah hidup juga selalu memberikan
pilihan dan jalan yang tak mulus?
Tak terasa satu demi satu rintangan
telah dilewati. Tibalah kami di Pos 2 yang masih begitu rindang untuk dijadikan
tempat beristirahat sejenak. Lagi-lagi kami selalu meributkan peta jalur
pendakian di setiap tempat kami beristirahat. Peta itulah yang seolah-olah membuat
rasa lelah kami menjadi tidak terasakan lagi.
“Bentar lagi Pos 3, abis itu
Pestan, kita ngecamp di situ. Jalan lagi yuk . . . “, ucap Bang Ardi sambil
menunjuk peta.
“Berapa lama lagi neh, Bang?”,
tanya saya.
“Ga lama koq, pas maghrib juga
paling kita udah sampai Pestan”, jawab Bang Ardi.
Tampaknya dari kami berempat, saya
selalu mengulang pertanyaan yang sama. Tak dipungkiri saya memang ingin sekali
cepat sampai camp untuk beristirahat.
Langkah kami pun berlanjut menuju pos selanjutnya. Jalur untuk kesana ternyata
kian sulit, lebih sulit dari sekian gunung yang pernah saya daki sebelumnya.
Apapun alasannya saya harus tetap keras kepala pada pilihan ini, memilih untuk
ikut mendaki gunung ini sebisa yang saya mampu.
Tantangan di jalur menuju Pos 3
begitu memukau pandangan mata saya. Tanah dengan banyak lubang menganga dan
bebatuan mulai mendominasi. Butuh tenaga ekstra untuk melewati jalur tersebut.
Sesekali kami mendapati jalan lurus meski hanya beberapa meter saja.
“Woiii . . . pelan-pelan yah
jalannya, bonus neh, dinikmati dong!”, seru Bang Ardi.
Sontak
kami pun tertawa terbahak-bahak dan mengikuti Bang Ardi untuk berjalan
melambat. Saat matahari sudah menandakan akan tenggelam, kami tiba di Pos 3
untuk beristirahat kembali. Sesegera mungkin kami membuka peta lagi dan kembali
bersemangat karena sudah hampir sampai di Pos Pestan dengan ketinggian sekitar
2767Mdpl.
Semburat di ufuk barat sudah mulai
memunculkan sinar merahnya. Langkah kami semakian cepat, berharap sampai di Pos
Pestan tidak terlalu malam. Kurang dari dua jam kami pun tiba di Pos Pestan.
Terlihat Bang Ardi berlari mencari tempat lapang untuk mendirikan tenda sebagai
tempat beristirahat kami. Sebelumnya kami juga sempat mengabadikan momen
detik-detik matahari itu menghilang dari pandangan. Di Pos Pestan kami bahu-membahu
mendirikan dua buah tenda. Tenda-tenda inilah yang akan menghalau kami dari
dingin yang membekukan tubuh dan angin yang berhembus kencang.
Semburat merah senja di dekat Pos Pestan |
Senja akhirnya tergantikan oleh
gelapnya malam berselimutkan dingin yang begitu pekat. Secangkir kopi panas
yang telah diseduh sedikit bisa menghangatkan tubuh. Dan hidangan santap malam
pun menemani kebersamaan kami berempat. Gemerlapnya ribuan bintang di langit
pun menawarkan keindahan yang takkan terbayar dengan materi. Saya mulai
berandai-andai untuk bisa menikmati semua perjuangan dan keindahan yang Tuhan
tawarkan bersama dengan seseorang kelak.
“Malam ini bintang di langit begitu
indah, sayang aku tak bisa menikmatinya bersamamu”, ucap saya sambil menatap
bintang.
“Kak, kamu salah kalo nggombalinnya
sama aku”, sahut Amel seraya tertawa.
Bang
Ardi dan Herry pun tak mau kalah untuk menertawakan saya. Gombal gunung yang
terlontar dari bibir saya ternyata mampu memecahkan tawa diantara kami. Malam
itu, langit bertaburan bintang di ketinggian 2767Mpdl. Taburan bintang yang
menghiasi langit Sumbing menggerakkan sepasang kaki saya untuk mengabadikan milky way yang memang baru pertama kali
ini diabadikan oleh mata telanjang. Warna-warni cahaya dari tenda pun turut
serta menjadi pelengkap dalam bingkai layar kamera. Malam semakin larut dan
dingin tak tertangguhkan lagi. Sekujur tubuh ini membutuhkan waktu untuk
melepas lelahnya. Jaket tebal yang membalut tubuh dan sehelai sleeping bed pun tak mampu mengalahkan
dingin yang kami rasakan.
Terima kasih sahabat sudah mengajak saya bermalam di "hotel berbintang" banyak |
Tuhan tak henti-hentinya menawarkan suasana malam yang begitu syahdu |
Di sepertiga malam, kami bangun dan bersiap
untuk menapakkan kaki menuju puncak Sumbing. Melewati jalan berbatu dan menerpa
kabut yang memudarkan pandangan mata kami. Hanya langkah kaki kami beserta
cahaya lampu senter yang menerangi jalan yang dilalui. Rasa kantuk, lelah, dan
dingin yang hebat harus bisa kami kalahkan selain ego. Semua itu tak terkecuali
karena sebuah puncak, tanda kebahagiaan kami untuk membayar semua lelah dan
perjuangan ini. Puncak memang bukanlah hal paling mutlak dalam sebuah
perjalanan, tetapi memaknai sebuah proses perjalanan adalah hal yang tak bisa
ditawar lagi.
Berjam-jam lamanya langkah saya
terseok-seok dengan terjalnya jalan berbatu ini. Saya mulai diterpa keraguan
untuk bisa sampai di atas sana. Sepasang bola mata saya pun mengucurkan airmata,
seolah harus menyerah begitu saja pada rintangan yang ada. Saya ingin menjerit
sejadi-jadinya kala itu. Jujur, saya sudah tak sanggup lagi melangkah dan ingin
mengakhirinya. Bukan lagi lelah, kantuk, dingin maupun ego yang membuat saya lemah
seperti ini. Tetapi, ketakutan untuk tak bisa kembali untuk orang-orang yang
saya cintai itulah yang terlampau hebat. Memang, alangkah bodohnya jika saya
harus melepaskan semua harap pada Gunung Sumbing.
“Wid, ayo pegangin kayu ini. Aku
tarik dari atas dan kita jalan pelan-pelan aja. Bentar lagi puncak lho”, ucap
Herry sambil menjulurkan sebuah kayu.
Saat begitu dekat dengan sebuah
kegagalan, Tuhan mengirimkan banyak cara untuk membangkitkan kembali semangat
saya yang sudah benar-benar terkoyak dengan keadaan. Uluran tangan teman-teman
seperjalanan membuat saya mengurungkan kata menyerah dan gagal. Bukankah sejak
awal saya sudah keras kepala pada diri sendiri untuk bisa sampai di puncak
sana?
Gelap pada akhirnya akan berganti
dengan cahaya, begitu pun malam yang berganti dengan pagi dan menawarkan cerita
baru. Saat sang raja siang keluar dari peraduannya, kami berempat sudah hampir
sampai di puncak.
Selamat pagi semesta, semoga saya masih bisa menikmati keindahan alam ini |
“Wid, ayo buruan. Tuh puncaknya
udah keliatan deket kan?”, ucap Herry menyemangati saya.
Saya
menatap sebuah puncak di Gunung Sumbing dengan mata yang berkaca-kaca. Seluruh
tubuh saya masih gemetar karena dingin dan lelah. Sebuah tatapan haru dan
syukur karena satu dari ribuan harap ini telah berganti menjadi kenyataan.
Tuhan membayar semua tangisan saya dengan sebuah ujung dari pendakian ini,
puncak dan turun dengan selamat.
Tracking menuju puncak Gunung Sumbing bersama Amel |
Pada titik tertinggi Gunung Sumbing
inilah saya merasakan mahakarya Tuhan yang tak pernah terbayar dengan apapun.
Untuk semua keindahan yang Tuhan tawarkan ini tak bisa terbantahkan. Saya
menatap semua lautan awan, deretan gunung, hijaunya pemandangan di bawah sana,
dan langit biru, semua itu menyapa saya dengan indahnya. Disanalah, Tuhan juga
mempertemukan saya dengan orang dan cerita baru, di atas awan.
Merah Putih berkibar di puncak Gunung Sumbing |
Di puncak Gunung Sumbing dengan background Gunung Sindoro. Bersama sahabat, perjalanan ini akan terasa ringan |
Salam hangat dari puncak Gunung Sumbing |
Usai mencumbui keindahan puncak
Sumbing, kami pun kembali turun ke basecamp
dengan sebuah kebanggan. Tentunya juga membawa sebuah cerita persahabatan
yang telah terajut dengan manis. Terima kasih sahabatku untuk semua semangat,
kegigihan, saling memberi dan peduli yang telah dicurahkan kepada saya. Mimpi
saya, semoga suatu saat nanti Tuhan menawarkan skenario pertemuan dan
perjuangan yang lebih indah dari ini semua.
Wah Mba Widha T.O.P B.G.T lah
ReplyDeleteYa Allah Gunung Sumbing... Bisakah diriku sampai di puncaknya? :')
Tenang, gunung ga akan lari dikejar mba ret . . .
ReplyDelete