Penawar Patah Hati
Penawar
Patah Hati
“Ketika hatimu patah, bawalah kakimu
melangkah. Karena di luar sana ada banyak hal yang membuatmu bahagia”
Menikmati Pemandangan Cantik di Atas Tebing Pantai Sedahan |
Tidak sedang merasa patah hati
ataupun berusaha membuat orang lain percaya dengan kutipan itu. Tetapi, bagi
saya tempat-tempat indah yang dikunjungi ketika sedang patah hati itu bisa jadi
teman untuk menangis dan berteriak sekeras mungkin. Yakinlah tak ada orang lain
yang melihat dan merasa terganggu dengan teriakanmu. Tak hanya itu, kamu juga akan
sadar bahwa dunia yang begitu indah ini akan sangat sayang untuk dilewatkan
dengan sia-sia karena memikirkan patah hatimu. Melegakan itu sudah pasti, yang
terpenting kamu harus bahagia setelah kejadian itu.
Lupakan sejenak dengan patah hati,
ada hal yang lebih esensial dari semua itu. Tempat-tempat ini bisa membuatmu
bahagia dan tersenyum ketika sejenak mengingat sebuah perjalanannya. Keindahan
itulah yang membuatmu akan merasa beruntung dan seolah bisa menikmati hidupmu
tanpa orang yang telah menyakitimu. Ahh sudahlah . . .
Malam itu saya bersama teman
perempuan dan laki-laki menyusuri gelapnya malam kota Wonosari menuju pantai
Wediombo sebagai tempat untuk memulai petualangan. Tiga orang pecinta
ketinggian yang juga tak munafik dengan keindahan alam pantai. Tenda, tak lupa
kami bawa untuk berpindah tidur di bawah langit dan berhawa pantai. Langit dan
bintang menyuguhkan pemandangan yang tak kalah menarik saat kami sedang
bersantai di depan tenda. Pembicaraan yang mengiringi pun merupakan bahasan
klasik anak muda, tentang cinta dan patah hati. Itulah mengapa kami ke tempat
ini, biar tidak lupa rasanya bahagia dengan teman-teman. Hingga larut malam
obrolan itu terus mengalir sembari menikmati kopi diantara dinginnya angin
laut. Satu per satu dari kami akhirnya pergi meninggalkan obrolan hangat itu
dan memejamkan mata untuk sejenak.
Samar-samar terdengar suara adzan
subuh berkumandang di kejauhan. Perlahan mulai membuka mata dan mencermati
sekeliling. Sesegera mungkin mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah. Ada
satu teman laki-laki yang masih tertidur pulas dan teman perempuan sedang asik
menikmati pagi seorang diri dipinggir pantai. Saya bergegas membangunkan teman
yang masih tertidur, berusaha mengajaknya berkemas dan melanjutkan perjalanan.
Kami bertiga pun meninggalkan pantai Wediombo, tempat semalam kami berteduh.
Sambil menyusuri pantai, kamera tak luput untuk mengabadikan momen matahari
terbit yang agaknya masih malu-malu.
Cuaca Mendung di Pantai Wediombo |
Terus menyusuri pantai, lalu naik
bukit kemudian turun kembali. Secercah cahaya kuning keemasan mulai muncul
dibalik gelombang air laut yang kian berlarian. Kurang dari tiga puluh menit
kami tiba di pantai cantik bernama Jungwok. Menyapa mentari pagi dan menikmati
hangatnya sinar yang dipancarkan diantara bebatuan.
Pantai Jungwong dari kejauhan |
Menanti Matahari Terbit |
Usai menghangatkan badan dengan
sinar mentari, kaki kami melangkah lagi dengan penuh semangat. Menerabas
perkebunan warga dan goa serta bukit-bukit yang menjulang, dipadu dengan
hijaunya alam yang memukau pandangan mata. Kali ini perjalanan kami
menghabiskan waktu 30 menit untuk berjalan kaki dari pantai Jungwok. Lelah ini
pun terbayar dengan keindahan pantai yang lebih cantik dari pantai sebelumnya,
pantai Nggreweng. Pasir putih yang mendominasi sukses untuk kami cumbui beserta
gulungan ombaknya. Tak lama kemudian, kami bergegas meninggalkan pantai ini,
kembali menyusuri bukit berbatu cadas.
Pantai Nggreweng |
Bermain pasir di Pantai Nggreweng |
Seolah tak mengenal lelah dan terus
dihantui rasa penasaran tentang “Ada apa
dibalik bukit sebelahnya?”. Itulah alasan utama kami terus berjalan menyusuri
pantai demi pantai. Terkadang harus sedikit tersesat dan memaksa kami untuk
berinteraksi dengan warga sekitar tentang jalan yang harus dilalui. Tak lain
tujuannya, menemukan pantai indah lagi untuk kesekian kalinya. Begitu
beruntungnya kami hari itu, tiba di pantai Sedahan yang masih sepi. Pasir
putih, warna air yang kebiruan serta tebing yang begitu membuat kami semakin
penasaran merupakan perpaduan apik yang Tuhan ciptakan. Tebing-tebing yang
terhampar di sekitar pantai Sedahan semakin membuat saya tak ingin menghentikan
perjalanan ini. Dua teman saya pun tak keberatan, mereka seperti binatang
berkaki seribu yang tak pernah lelah menyusuri sebagian sudut bumi.
Menyusuri Pantai Sedahan |
Pantai Sedahan dari Atas Bukit |
Indahnya lautas lepas dari atas tebing |
Butuh waktu sebentar untuk bisa
sampai di pantai sebelahnya, namanya pantai Dadapan. Di pantai inilah saya
sadar bahwa kebahagiaan tak cukup hanya dengan sebuah cinta. Keindahan yang
Tuhan tawarkan mampu membuat hidup akan lebih indah ketimbang memikirkan cinta
melulu.
Kala itu, tak ada satupun jejak kaki manusia yang kami temukan di
pantai ini. Kami seolah-olah adalah penghuni satu-satunya, merasa pantai ini
adalah milik kami. Bermain dengan ubur-ubur yang bening serta pasir putih dan
ombaknya, membuat sarapan dan menikmatinya bersama deburan ombak dan ketenangan
yang begitu nyata.
Ahhh . . . senang dan girang sekali wajah kami kala itu.
Ternyata perjalanan yang kami mulai dari matahari akan muncul dan saat kami
kembali hanya menyita waktu lima jam saja. Lima jam yang cukup membuat kami
bahagia dan mencatatkan kenangan indah yang takkan bisa dilupakan sepanjang
hidup. Lantas, kamu akan memilih yang mana? Bahagia dengan sebuah cinta yang
belum tentu menawarkan kebahagiaan abadi atau bahagia dengan teman perjalananmu
yang membuat hidupmu akan lebih berwarna? Pilihan setiap orang pasti berbeda,
tetapi saya memilih mencintai perjalanan saya untuk terus menapaki indahnya
alam ini.