Mengejar Asa di Puncak Ungaran
“Edelweis,
itulah penyemangat dari sebuah perjalanan hati menuju puncak”
Keindahan di Puncak Ungaran |
Sekian
lama tak menghirup udara gunung yang kian dingin, tak bercengkerama dengan
pucuk daun cantigi dan mencumbu edelweis. Kerinduan akan hal itu yang membuat
kaki ingin melangkahkan kembali ke jalanan yang tak lagi datar. Jalanan yang
menuai banyak pelajaran dan mengurai cerita persahabatan. Iya, gununglah yang
selalu membuat kerinduan ini tak lagi bisa ditawar.
Pernah
terbayangkan dalam benakmu ketika harus berbuka puasa dan sahur di gunung?
Mungkin hanya orang-orang anti mainstream yang rela berpeluh keringat saat
bulan puasa. Saat orang lain bermalas-malasan dan tak ingin lelah karena ibadah
puasanya yang membuat lemas, saya dan teman-teman justru mengejar impian untuk
ibadah dan merasakan kenikmatan berbuka maupun sahur ditemani segarnya hawa
gunung.
Hari
terasa cepat berlalu ketika saya memulai perjalanan dari pos mawar menuju
puncak Ungaran. Lapar dan dahaga pun seolah terabaikan. Hanya ada impian untuk
berbuka di tengah gelapnya pepohonan. Saat suara adzan maghrib samar-samar
terdengar, perjalanan saya terhenti di sebuah sumber air. Saya pun bergegas membasuh
wajah dengan air wudhu yang menyejukkan. Menggelar sajadah dan sholat maghrib
berjamaah serta memanjatkan doa-doa terbaik untuk keselamatan perjalanan.
Dilanjutkan berbuka puasa dengan bekal yang dibawa meski menu seadanya. Itulah
yang mengajarkan saya tentang kesederhanaan dan kebersamaan bersama
teman-teman.
Kebersamaan bersama teman-teman |
Diantara tebing-tebing tinggi |
Perjalanan pun dilanjutkan kembali untuk menuju kebun teh promasan saat waktu menunjukkan pukul 23.00. Setibanya di base camp Promasan, saya pun merebahkan badan yang agaknya memang sudah letih karena tracking saat berpuasa. Pukul 01.00 saya bersama teman-teman bersiap untuk summit attack dan sahur di puncak Ungaran. Suhu saat itu sedang mencapai puncak paling dingin di gunung Ungaran. Angin yang berhempus pun begitu kencang tapi tidak sampai terjadi badai gunung. Dua hal itulah yang mau tidak mau harus ditaklukan. Jalur yang terus menanjak dan berbatu, langkah kaki saya pun kian terseok-seok karena kelelahan. Tetapi, teman-teman begitu baiknya menunggu dengan sabar. Mereka pun menyemangati saya untuk terus melangkah demi sebuah puncak. Dua jam lebih berjibaku melawan dingin dan hembusan angin yang begitu kencang. Tiba di puncak Ungaran saat waktu sahur adalah sebuah harapan terbesar kami. Setelah sampai di puncak, teman-teman sibuk mendirikan tenda dan saya sibuk memasak untuk santap sahur. Setelah selesai, kami pun bersantap sahur sambil bercengkerama tentang keindahan puncak gunung dan perjalanan yang telah dilewati. Tak lupa melewatkan dua rakaat demi lengkapnya ibadah dan perjalanan kami.
Memandang Keindahan dari Puncak Ungaran |
Menanti Matahari Terbit di Puncak Ungaran |
Langit
tiba-tiba memunculkan semburat merah di ufuk timur yang menandakan bahwa gelap malam
akan berganti dengan sang surya yang muncul dari peraduannya. Tak hanya kabut
yang menyelimuti kami. Tetapi, lautan awan membentang luas di hadapan kami.
Bahagia ketika asa yang selama ini terpikirkan dalam otak ternyata menjadi
sebuah kenyataan. Di puncak lah kami mensyukuri nikmat Tuhan karena telah
menunjukkan sekeping keindahan matahari terbit.
Usai
menikmati hangatnya matahari, kami pun kembali ke pos mawar. Menuruni puncak
dengan waktu yang ternyata lebih singkat ketimbang ketika naik. Lelah rasanya
terbayarkan dengan semua cerita yang kami rangkai bersama. Semoga kelak Tuhan
mempertemukan kami kembali di ramadhan berikutnya. Amiinn . . .
Ungaran, 8-9 Juli 2014